Selasa, 10 April 2018

Gagal menjadi "Pria"

Kata "Pria" (Gentleman) seolah identik dengan kedewasaan, tanggung jawab, dan kebijaksanaan.
Dalam KBI,
pria n laki-laki dewasa: kaum -- kaum laki-laki dewasa;-- idaman laki-laki dewasa yang dijadikan dambaan (yang sangat diinginkan) oleh wanita
"Dewasa" bukan karena umur, namun karena sikap. Terkadang spesies manusia berjenis kelamin jantan ini, walau sudah lama hidup di dunia tapi belum tentu memiliki kedewasaan. Entah karena faktor fisik, atau psikis. Yang jelas memang gak semua Laki-laki tua itu dewasa dan bijak.

Ada istilah, "Tua-tua keladi, makin tua makin jadi". Istilah ini dipandang dari sudut negatif. Yang dominan ditunjukan pada seorang laki-laki tua yang bertingkah tidak pada normanya. Kebanyakan orang menggambarkan seorang laki-laki tua yang masih suka mempermainkan wanita atau mengincar wanita-wanita yang lebih muda.

Secara fisiologis dijelaskan bahwa hormon atau agresifitas laki-laki tidak akan menurun walau sudah berusia lanjut, berbeda dengan perempuan yang mengalami penurunan kondisi hormon tubuh (menopause).
Namun di sisi lain, dipandang secara norma dan nilai masyarakat timur. Seorang laki-laki semakin tua maka akan semakin bijak. Karena perjalanan hidup yang telah dilewatinya menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk menghadapi masalah dikemudian hari. Pria dianggap harus bisa berpikir secara rasional dan subjektif memandang semua masalah. Menjadi panutan bagi generasi selanjutnya.
Pria dianggap "harus bisa mengontrol hasrat dan nafsunya" saat menginjak usia senja.

Yang aku amati,"teori lebih mudah dibanding prakteknya".
Konsep "Pria" yang ada dipikiran wanita itu seolah hanya sebuah imajinasi. Pria yang benar-benar matang, bertanggung jawab dan bijak seolah adalah sebuah jerami ditumpukan jarum.
Ada (mungkin), tapi sulit didapatkan.

Mungkin jaman sekarang wanita harus mengambil sebongkah besi dan mengasahnya sendiri agar menjadi sebuah jarum. Namun dengan tenaga wanita yang lemah itu, akan memerlukan kesabaran usaha dan waktu yang lama.

Mungkin laki-laki yang gagal menemukan wanita pengasah itu, akan berubah menjadi "Tua keladi" bukan seorang "Pria", "Ayah", "Paman" atau "Kakek" yang baik.

Aku mau bercerita sebuah kisah laki-laki. Laki-laki yang aku amati sepanjang hidupku. Sebagian aku mengamatinya sendiri, sebagian aku mengambil dari cerita orang lain. Mungkin sejenis gosip dikalangan masyarakat. Semua aku rangkum dalam kisah ini.

Gagal menjadi Pria

Bukan dalam arti dia menjadi seorang wanita. Kini dia sudah menginjak kepala 6 diusianya. Seorang laki-laki yang memiliki 2 orang anak yang sudah tumbuh dewasa. Seorang laki-laki yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

Dia lahir sebagai anak bungsu dari keluarga miskin. Kakak-kakaknya berjuang hidup membantu perekonomian keluarga. Mereka sering terpisah-pisah karena faktor ekonomi. Kakak-kakaknya diasuh, dibesarkan atau disekolahkan oleh kerabat mereka yang lain. Sebagai gantinya, kakak-kakaknya memberikan jasa untuk membantu keluarga pengasuhnya. Hal seperti ini sering terjadi bukan hanya dikeluarga tersebut. Dimana-mana, saat sebuah keluarga tidak mampu membesarkan anak-anak mereka sendiri, maka mereka akan menitipkannya pada kerabat yang mampu.

Berbeda dengan laki-laki ini. Dia adalah anak bungsu, anak yang tidak harus dititipkan dan menjalani kehidupan yang keras seperti kakak-kakaknya. Kakaknya yang mulai mandiri, mambantu membesarkan laki-laki itu. Sayangnya, laki-laki itu harus kehilangan ayahnya saat usia 2 tahun. Sehingga tidak ada sosok ayah yang bisa dia modeling untuk hidupnya. Dia hidup di besarkan oleh wanita-wanita perkasa. Bahkan kakaknya yang seorang laki-laki menjadi seorang pederita gay.

Laki-laki itu hidup normal. Dia mendapat pendidikan yang cukup. Walau ketika Sekolah menegah atas dia harus jauh dari keluarganya untuk di sekolahkan di kota lain. Setelah lulus, dia bekerja dengan kerabat-kerabatnya dan memiliki penghasilan yang lomayan. Usaha kakak peremuannya pun bagus, sehingga keluarga mereka bangkit dari garis kemiskinan. Kakak laki-lakinya memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan tidak kembali.

Ibunya, menjadi pencandu alkohol sejak kehilangan suaminya. Anak-anak mereka dipaksa lebih dewasa dibanding orang tua mereka. Semua tanggung jawab diserahkan kepada kakak peremuannya.

Sedikit mengenai kisah  cinta laki-laki ini. Ketika muda dia berpacaran dengan seorang wanita, namun tidak di restui oleh keluarganya. Pacarnya sangat mencintainya dan terus mencari dirinya, namun demi keluarga dia mengacuhkan wanita itu. Dan mencari wanita lain.

Dia menemukan seorang wanita yang 9 tahun lebih muda darinya. Cantik, mandiri dan populer. Banyak pria yang menginginkannya kala itu. Laki-laki itu berasa di puncak jaya kehidupannya. Mapan, matang (secara usia), dan tampan. Dengan mudah memikat wanita cantik itu dan menjadikannya istri. Mereka hidup bersama selama 10 tahun dan memiliki 2 orang anak.

Suatu hari, keputusan besar mereka ambil, dan merubah hidup mereka. Laki-laki itu memulai usaha sendiri tanpa bantuan kerabatnya. Dengan bantuan istrinya, laki-laki itu memiliki sebuah toko. Namun, ada yang berbeda. Semua keperluan toko istrinya yang mengelola. Sang laki-laki entah bagaimana dan apa yang dikerjakan menyerahkan semua pekerjaan toko pada istri dan kerabat istrinya.

Ketika toko itu gulung tikar, dia hanya menyalahkan istrinya. Dia berpikir "Wanita itu boros, hanya mementingkan keluarganya, sehingga tokonya bangkrut.". Dulu istrinya pernah berkata jika dia mampu menjalankan bisnisnya sendirian, sehingga laki-laki itu menyerahkan bisnis itu 100% untuk istrinya. Untuk membuka toko istrinya dia mengorbankan rumah yang dia beli sewaktu masih bujang.

Cobaan bagi keluarga itu, belum berakhir. Anak laki-laki kedua mereka mengalami sakit parah, sehingga harus dirawat. Entah bagaimana, istrinya harus mengurus toko dan anak dalam waktu yang bersamaan. Sehingga ada seorang anak mereka yang menjadi korban. Setelah anak dari laki-laki itu menginjak usia 3 tahun, pasangan itu baru menyadari kalau anak mereka mengalami kelainan. Anak laki-laki mereka, tidak bisa berjalan. Dokter mengatakan anak itu menderita Autism.

Seluruh keluarga mereka turut berduka dan ingin membantu. Laki-laki itupun mendapat tawaran bantuan dari keluarganya, untuk bekerja menjaga sebuah toko dikota lain. Ia ingin mengajak istri dan anak-anaknya, memulai kehidupan baru. Memulai usaha baru. Namun istrinya menolak. Istrinya tidak ingin "ikut orang". Istrinya ingin usaha mandiri, seperti dia membuka tokonya dulu.

Selisih paham diantara mereka terus terjadi. Mereka sama-sama mempertahankan egonya masing-masing. Tidak ada yang ingin mengalah. Si Wanita menganggap suaminya tidak bisa mandiri, selalu terbanyang-banyang oleh pengaruh keluarganya. Terlalu manja dan tidak bisa maju. Istrinya ingin maju dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan keluarga suaminya. Si Laki-laki, merasa semua wanita harus mengikuti apa yang diperintahkan laki-laki. Iya merasa bantuan kerabatnya adalah jalan keluar satu-satunya yang bisa dia lalui. Iya mengusahakan segala cara agar istrinya tetap ikut bersamanya.

Namun kekuatan ego mereka terlalu besar, mengalahkan sisi rasional mereka, mengalahkan cinta mereka pada anak-anak mereka. Mereka pun hidup terpisah-pisah.

Si laki-laki tetap meneruskan rencananya untuk bekerja pada kerabatnya dengan mengelola sebuah toko. Si istri kembali kerumah keluarganya dengan membawa anak perempuan pertamanya, dan meninggalkan anak laki-lakinya yang autis dengan suaminya. Si laki-laki tidak bisa mengurus anaknya sendiri, apalagi sambil bekerja. Sehingga dia menitipkan anak laki-lakinya yang cacat pada kakaknya. Si Wanita, harus mandiri membesarkan anak perempuannya, dan tinggal di rumah orang tuanya, mengandalkan orang tuanya membantu menjaga putri satu-satunya. Mereka melalui jalan yang berbeda sendiri-sendiri.

Sejak kecil, putrinya sudah menanggung harapan orang tuanya yang begitu besar. Harapan untuk bisa sukses dan membantu perekonomian keluarga jika kelak perekonomian mereka tak kunjung membaik.Orang tuanya memberikan beban tanggung jawab dari harapan yang besar, tanpa peduli bagaimana pikiran dan perasaan anak itu.

Tahun demi tahun berlalu, namun laki-laki ini tidak kunjung bangkit dari keterpurukan ekonominya. Dia hanya jalan di tempat, tidak bisa bangkit untuk maju. Salah satu faktor yang tidak bisa membuatnya bangkit adalah gaya hidupnya. Iya masih bertingkah seolah dia adalah orang mampu. Hanya memikirkan kesenangan sementara. Tidak banyak memikirkan masa depan, dan hanya melihat kebelakang. Menyesali dan menyalahkan istrinya meninggalkan dirinya, tanpa berjuang menata hidupnya menjadi lebih baik. Menyalahkan nasip yang buruk, terus berharap ada uang yang jatuh dari langit.

Usahanya untuk mengelola toko kerabatnya tidak berjalan baik. Kemampuan menejemen dan perencanaan tidak dia miliki. Usahanya tidak berkembang dan jalan ditempat. Kerabatnya pun tidak lagi mempercayakan tokonya pada laki-laki itu.

Kakaknya pun mengalah, dia menyerahkan rumah hasil kerja kerasnya dulu kepada laki-laki itu. Berharap laki-laki itu bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi dan psikisnya. Berubah menjadi Pria dewasa yang bisa mengurus dirinya sendiri.

Kakaknya memulai usaha baru di kota lain bersama keluarga kecilnya, suami, putrinya, anak autis dari laki-laki itu, dan ibunya yang sudah tua dan tidak mampu berjalan. Begitu banyak beban yang ditanggung oleh keluarga kakak perempuannya. Namun kakaknya menanggungnya dengan sabar. Selalu berpikir "semua ada hikmahnya, ada waktunya untuk bangkit."

Bertahun-tahun, pria itu hidup sendiri, bagai seorang "bujang". Tidak tahu apa yang dikerjakan, dan apa saja usaha yang dia lakukan. Tidak menemukan pekerjaan, usaha pun tidak berjalan lancar, hanya judi yang dia andalkan. Memasang nomer togel menjadi suatu motivasi barunya. Iming-iming hadiah besar selalu menjadi penyemangat hidupnya.

Melihat kondisi adiknya yang memprihatinkan. Kakak perempuan dari laki-laki itu pun memutuskan untuk meminta bantuan adiknya. Membantu mengelola tokonya. Berharap adiknya mau kembali bekerja keras seperti masa mudanya, sebelum menikah dulu. Keputusan untuk terus membantu adiknya itu, menjadi awal hancurnya hubungan dia dan suaminya. Beban yang terlalu banyak dan ego masing-masing yang kuat, kembali menjadi masalah dalam keluarga.

Suami dari kakak laki-laki itu (kakak ipar), geram dengan tingkah laki-laki itu. Sifat arogannya mulai muncul sejak laki-laki itu menginjakan kaki dirumahnya. Baginya, laki-laki tidak seharusnya bersikap seperti itu. Terlalu banyak mengandalkan orang lain untuk bertahan hidup. Kakak iparnya, selalu memandang laki-laki itu dari sisi negatif dan sangat membencinya. Begitu pula laki-laki itu, berpikir kalau kakak iparnya selalu mencari-cari kesalahan dirinya. Merasa kakak iparnya terlalu arogan dan galak, tidak masuk akal dan membuat semua orang memusuhi kakak iparnya.

Di belakang kakak iparnya, dia selalu menjelek-jelekan kakak iparnya. Hingga semua keluarganya tahu keburukan kakak iparnya yang arogan. Seolah laki-laki ini menjadi bigos (biang gosip). Dengan membicarakan kakak iparnya dia mendapat banyak perhatian dan simpatik dari kerabat-kerabatnya yang lain.

Kakaknya terjepit antara suami dan adik yang dicintainya. Pertengkaran terus terjadi dirumah itu. Suaminya bertengkar dengan ibu dan adiknya, sedangkan kakaknya tidak bisa membela siapapun. Rumah yang dia tinggali bersama adik dan ibunya adalah rumah suaminya. Kakaknya tidak mampu membawa adiknya dan ibunya untuk pindah karena kondisi mereka, dan tidak mampu meredakan amarah suaminya.

Mereka hanya bisa bertahan ditengah ketidak harmonisan keluarga. Mereka harus membesarkan anak-anak dengan kondisi rumah tangga yang diujung tanduk. Yang selalu berada diujung. Berkali-kali kakak ipar laki-laki itu mengusirnya. Berusaha menjauhkan istrinya dari adiknya yang tidak berguna. Menurutnya. Kakakiparnya berpikir, seharusnya laki-laki itu yang mengurus ibu mereka, namun laki-laki itu seolah melepas tanggung jawab dan meyalahkan nasip bukan diri sendiri. Memiliki anak dan tidak mau mengurusnya.

Kakak perempuan dari laki-laki itu terus melemparkan tali untuk adiknya keluar dari lubang. Terus memberikan kail untuk memancing ikan. Dia menjual rumahnya, untuk modal laki-laki itu membuka toko. Berkat bantuan kerabatnya yang lain juga, laki-laki itu bisa membuka sebuah toko. Laki-laki itu terus diberi dukungan untuk maju dan mandiri.

Seolah dewa sedang bad mood. Laki-laki ini kembali diberikan cobaan. Suatu hari dia sakit, entah sakit apa yang dideritanya. Dia merasa kepalanya pusing di jam-jam tertentu dan hampir pingsan. Dia tidak mampu lagi mengelola tokonya. Lagi-lagi kakaknya terpaksa membantunya. Dia menampung adiknya yang sedang sakit di rumahnya. Walau harus menanggung kemarahan suaminya. Berbagai upaya terus dilakukan agar adiknya sembuh dan bisa kembali bekerja.

Namun, sungguh sulit. Manusia itu sulit. Ketika kondisi keuangan kakaknya mulai menurun. Kakak ipar laki-laki itu berpikir kalau dia hanya pura-pura sakit. Tanpa belas kasihan kakak iparnya mengusir laki-laki itu dalam kondisi sakit. Bukan hanya laki-laki itu, namun juga anak autis dari laki-laki itu. Tidak ada tempat lain yang dituju selain rumah kerabatnya yang lain. Memohon belas kasihan dari kerabat yang lain.

Mungkin, menolong orang lain itu memiliki batasan. Ketika batasan itu mencapai puncaknya, dia akan benar-benar mengacuhkannya. Seperti kapal yang akan karam, dia akan melempar seisi kapal kelaut. Namun tidak menutup lubang yang ada dikapal. Sehingga hanya menunggu waktu untuk kapal itu tenggelam. Atau, menunggu waktu untuk mati kelaparan di kapal yang terombang-abing dilautan.

Dari jauh, kakaknya terus menolong adiknya. Memberikan dana untuk berobat dan sekolah anak-anaknya. Hingga kondisi kesehatan laki-laki itu membaik. Padahal kondisi keuangannya kakaknya sendiri mulai menurun. Laki-laki itu sedikit demi sedikit sembuh. Kerabatnya cukup tahu bagaimana sifat laki-laki itu, dan tetap menolongnya. Menolong semampu mereka. Laki-laki itu terus bertahan hidup. Namun sifat menjelek-jelekan orang dibelakang, ternyata belum hilang. Dia masih suka menggosipkan kerabatnya yang telah baik menolongnya.

Suatu ketika, kakak ipar laki-laki itu sakit, dan usaha kakaknya bangkrut. Ada kabar bahwa kakak mereka yang tinggal di luar negri telah meninggal dunia. Untuk mengurus keperluan kakaknya di luar negri dan suaminya yang sakit, akhirnya kakak perempuan laki-laki itu meminta pertolongan dia. Laki-laki itu dan anaknya  tinggal kembali dirumah kakaknya, membantu mengurus kakak iparnya yang sedang sakit.

Sampai kakak iparnya itu meninggal dunia. Dia terus tinggal bersama kakaknya. Kini, tanpa kakak iparnya, laki-laki itu hidup bebas dirumah kakaknya. Tanpa bekerja, tanpa mencari uang. Dia hanya mengandalkan kakaknya yang mulai sakit-sakitan untuk hidup. Sebagai gantinya terkadang dia mengurus sesuatu yang tidak perlu diurus dirumah kakaknya. Mengerjakan sesuatu yang tidak berguna.

Hingga kakaknya jatuh sakit. Sakit yang sama diderita oleh suaminya. Lucunya, laki-laki ini seolah tidak terlalu peduli. Dia menjaga kakaknya hanya sebatas formalitas.
Contohnya saja, ketika kakaknya baru masuk rumah sakit, dia tidak mau menginap dirumah sakit. Menyuruh keponakannya yang menginap, karena tinggal di rumah sakit tidak nyaman.
Laki-laki itu tinggal di lantai dua rumah kakaknya, menggunakan banyak lampu, memiliki 2 televisi untuk dia dan anak autisnya, memiliki 2 kipas angin tanpa perlu membayar listrik. Atau setidaknya membantu membayar listrik.
Seolah hidupnya kembali sejahtera. Dia tinggal di rumah kakaknya tanpa rasa malu.
Kakak dan keponakannya tinggal dilantai satu rumahnya, tidur disebuah kamar dengan 1 kipas angin, 1 lampu bolan kuning, dan televisi usang yang warnnanya dominan hijau. Terkadang tikus dan kecoa lewat dengan gembiranya.
Dan laki-laki itu tidak peduli dengan kondisi ini.

Suatu ketika laki-laki itu bertingkah sok bijak, dia menyarankan agar kakaknya diperiksa kerumah sakit swasta yang memiliki dokter lebih bagus. Keponakannya setuju, karena semua demi kesehatan sang ibu. Ternyata, Dokter menyarankan agar kakaknya harus dirawat di rumah sakit mewah tersebut. Mendengar hal tersebut, keponakannya hanya bisa menghelah nafas pasrah. Keponakannya harus memikirkan pengeluaran yang besar, ditengah ketidak mampuannya. Tuntutan keluarga-keluarga kaya yang "hanya nyuruh-nyuruh doang", seolah tidak memikirkan bagaimana keluarga itu bertahan hidup selama ini.

Dengan gampang laki-laki itu mengatakan, "tenang, buat masalah biaya gak usah dipikirin.". Ternyata laki-laki itu berniat untuk meminjam uang atau meminta uang kepada kerabatnya yang lain. Kerabatnya yang lebih kaya atau mapan. Dengan alasan kakaknya yang sakit, entah berapa uang yang dia pinjam. Karena kakaknya dirawat dirumah sakit mewah, laki-laki itu dengan suka rela menginap, menemani kakaknya. Katanya "ruangannya ber AC, enak buat tidur."

Di rumah sakit kerabat-kerabatnya seolah berkata sinis setelah mengetahui jika keuangan keluarga itu dipegang oleh keponakannya. Entah prasangka macam apa dan hasutan macam apa, kerabat-kerabat itu memojokan keponakan laki-laki itu, seolah keponakannya harus juga memikirkan pamannya yang bernasip "sial". Hal ini menjadi sebuah "kode" untuk satu tujuan yang ingin dicapai laki-laki itu.

Setelah kembali kerumah, kerabat lainnya datang berkunjung, dan melihat bagaimana kondisi kakaknya. Banyak komentar pedas terlontar ditelinga keponakannya. "Seharusnya kamu menjaga mama kamu, berikan dia yang terbaik selama dia masih hidup." Komentar pedas orang-orang, dan semua kondisi keluarga yang dia alami, membuat keponakan laki-laki itu mengambil alih semuanya. Dia mulai menjadi keras, pada laki-laki itu. Mengganti kasur, kipas angin dan televisi usangnya. Semua untuk ibunya. Dia menggunakan sebagian tabungan ayahnya untuk membuat kehidupan ibunya lebih baik. Berusaha tidak pelit kepana diri sendiri dan ibunya. Belajar mengelola keuangan keluarga, agar tidak defisit. Terkadang tangis saja tidak cukup. Dia harus menghadapi sifat serakah orang-orang disekelilingnya. Sifat egois dan malas.

Setelah ibunya keluar dari rumah sakit, keponakanya menjakan kondisi keuangan dengan cukup ketat. Laki-laki itu akhirnya merasa tekanan. Tidak ada uang karena tidak bekerja dan tidak tahu harus mengerjakan apa. Dia berusaha mendapatkan uang dengan menjual barang-barang yang ada dirumah kakaknya. Hal ini diketahui oleh keponakannya. Berusaha untuk mengerti, dan menerima. Tidak ingin memojokan pamannya yang tidak berguna itu. Dia hanya diam dan pura-pura tidak tahu.
Keponakannya menyadari bahwa paman yang dia kenal baik selama ini bukanlah paman yang baik. Paman yang bisa saja menusuk dirinya dari belakang, jika itu adalah salah satu pilihan.
Orang yang egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Berkata manis dan seolah berpura-pura menjadi orang baik. Entah rencana busuk apa yang sudah dia siapkan?

Kakaknya yang jatuh sakit, mulai jauh dari anaknya (keponakan laki-laki itu). Menagggap anaknya menjadi jahat dan galak seperti ayahnya. Kakaknya terus berpihak kepada laki-laki itu. Entah karena hasutan laki-laki itu atau apa. Kakaknya kini tidak lagi peduli pada usaha anak perempuannya untuk dirinya. Dia hanya ingat pada adik laki-lakinya dan berpikir adiknya akan mengurusnya sampai akhir hidupnya. Dia mengasikan anak perempuan satu-satunya disudut hatinya yang luas.

Keponakannya pun sudah muak dengan kondisi keluarga itu. Entah suatu hari akan seperti apa keponakan laki-laki itu. Menjadi jahat, dan tidak peduli lagi pada orang lain? atau akan tetap seperti ibunya yang bodoh melindungi laki-laki lemah yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri.

Berusaha untuk tidak seperti ayahnya, keponakannya memberikan uang pribadinya untuk pamannya memulai usaha. Usaha kecil yang bisa berkembang jika bekerja keras.
Berjualan tidak perlu modal besar, cukup modal seadanya dan tenaga. Tidak perlu keahlian khusus, hanya perlu menjual barang dan menyetok barang ketika habis. Berharap pamannya bisa kembali sukses. Atau setidaknya bisa membiayai hidupnya sendiri. Berharap pamannya tidak lagi berpikiran jahat.

Suatu hari, tidak ingin kalah dengan fasilitas yang didapat kakaknya dari keponakannya. Laki-laki itu memutuskan membeli AC dan merenovasi kamarnya sendiri. Semua uang untuk berfoya-foya itu didapatkan dari warisan kakak laki-lakinya yang meninggal di luar negeri. Laki-laki itu mendapat uang tanpa membaginya pada kakaknya yang sakit. Dia menggunakan uang warisan itu sendirian. Dari jalan-jalan keluar negeri hingga mengganti barang-barang elektroniknya menjadi lebih bagus. Sayangnya dia tetap tidak membantu membayar litrik dan wifi yang telah dia gunakan dirumah kakaknya, dan tetap meminta uang sayur bulanan pada keponakannya.

Keponakannya tahu dan hanya diam saja, tidak ingin mencampuri urusan keuangan orang lain. Walau dirinya terus merasa terancam akan kehadiran pamannya. Entah karena banyaknya cobaan hidup, hasutan dari orang lain, keserahakan pada harta, atau putus asa karena nasipnya yang tidak membaik.  Laki-laki itu, mulai mengharapkan harta kakak perempuannya.

Dia merasa berhak mendapat warisan dari kakak iparnya. Sehingga dia terus bertahan di rumah kakaknya dengan dalih "mengurus kakaknya yang sedang sakit". Dia memang membantu menjaga kakaknya yang sedang sakit, tapi seolah mengharapkan imbalan yang besar. Imbalan yang akan menjadi modal kehidupan dia dan anaknya kelak. Modal terakhir diusianya yang telah mencapai kepala 6. Tapi apakah itu pantas?

Kata orang "harta akan membuat orang buta", "karena harta, saudara kandung bisa salaing membunuh"
Dan itulah yang terjadi.

Dia mengatakan uang itu akan menajadi modal untuk kehidupan anak autisnya kelak. Tapi apakah benar?

Laki-laki itu berpikir, jika harta saudaranya adalah hartanya. Jika saudaranya kaya maka dia memiliki kesempatan untuk meminta walau hanya sedikit. Selama saudara itu sayang padanya, dia tidak malu untuk meminta. Dia lebih suka meminta dibanding berusaha sendiri.
Oh ya, gaya hidupnya juga tidak berubah. Tidak peduli bagaimana kondisi keuangannya, yang dia pentingkan hanyalah ego. Saat melihat uang banyak, matanya akan hijau. Tanpa malu meminta pada ponakannya. Seolah dia berhak atas uang keponakannya itu.

Bahkan sebelum kakaknya meninggal dia sudah mengeluarkan telapak tangannya untuk meminta uang warisan kakaknya.  Apa yang akan dilakukan keponakan laki-laki itu?


Hingga usianya kini, dia gagal menjadi seorang Pria. Dia tetap manjadi laki-laki manja yang bergantung hidup pada orang lain. Mungkin setelah kakak perempuannya meninggal, dia akan bergantung kepada anak perempuan yang dia abaikan selama bertahun-tahun, atau pada keponakannya yang telah dia sakiti perasananya. Menggantungkan hidup, dengan modal belas kasihan dan nasip buruknya dan anaknya. Atau dia akan mencari kerabat-kerabat kayanya yang lain?

Segala masalah hidup yang dia alami, tidak  membuat dia menjadi Pria dewasa dan bertanggung jawab.
Sedang wanita-wanita disekelilingnya harus menanggung semua tanggung jawab yang seharusnya dia pikul.

0 celoteh:

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo