KOMPAS.com - Dengan lebih dari 3 juta wisatawan setiap tahunnya, maka situs Le Mont Saint Michel menduduki urutan kedua yang paling banyak didatangi turis setelah kota Paris. Jadi bisa dibayangkan, kota Paris yang luas dan kaya dengan obyek wisata dibandingkan dengan satu situs maha karya yang berada di Normandi ini. Tak heran bila Le Mont Saint Michel merupakan impian setiap wisatawan agar bisa mengunjunginya.
Impian yang juga merupakan impian kami mengisi liburan. Sayangnya, si kecil Bazile tak bisa ikut dengan kami. Karena menurut orangtua Kang Dadang (David suami saya), situs ini selalu dibanjiri oleh lautan manusia setiap harinya. Tak ada istilah musim liburan atau tidak, situasinya selalu sama, padat akan turis dari berbagai penjuru, sehingga akan sulit bagi si bungsu untuk berjalan.
Alasan kedua, karena seringnya cuaca buruk dan sebagian besar jalanan di daerah itu tak memungkinkan bagi kami membawa kereta bayi. Kebanyakan harus dilakukan dengan berjalan kaki. Kesimpulan, Si Kasep tidak akan menikmati perjalanan wisatanya dan kami yang ada malah akan jadi lebih banyak mengurus Bazile ketimbang menikmati obyek wisata.
Dengan berat hati akhirnya Bazile kami titipkan pada nenek kakeknya yang datang bergabung bersama kami untuk liburan di Bretagne.
Benar saja, begitu kami mendekati situs Le Mont Saint Michel, hujan deras turun! Padahal udara sejak tadi begitu cerah. Dan ketika sampai di lapangan parkir, hujan semakin mengguyur saja. Kami tidak bisa keluar mobil karena tak mungkin berjalan menuju situs itu dengan cuaca sangat buruk.
Kami bertiga akhirnya memilih untuk menikmati piknik kami dalam mobil, dari pada nekad dan tak bisa berbuat apa-apa. Nasib mujur...begitu piknik kami selesai, udara cerah datang. Kami pun dengan cepat menggunakan kesempatan ini untuk mengunjungi obyek wisata impian kami.
Tapi kami tetap berhati-hati, jaket hujan tetap kami gunakan. Benar saja! Baru juga beberapa langkah dari mobil, lagi-lagi hujan deras turun mendadak. Begitu derasnya sampai sulit bagi kami melihat ke depan. Untung, Bazile tak kami ajak serta, sudah terbayang kerepotan yang akan kami hadapi menghadapi cuaca tak menentu itu, dan beberapa kali mata saya beradu dengan orangtua yang panik menghadapi anak-anak mereka yang masih balita karena meraung tak senang kebasahan dan takut melihat gelombang pasang.
Saat kami memasuki kota tua itu, matahari menyambut kami, hujan pun terhenti secara tiba-tiba dan lautan manusia menjadi pemandangan utama. Tak heran karena selain mendapatkan gelar sebagai situs maha karya oleh Unesco, terkenal juga sebagai tempat suci bagi umat Kristiani. Mengunjungi gerejanya merupakan sebuah perjalan ibadah keagamaan. Tapi tak menghalang bagi umat bergama lainnya untuk mengunjungi dan mengaguminya.
Bicara sedikit mengenai Le Mont Saint Michel. Le Mont Saint Michel adalah sebuah daerah di Normandi, berbatasan dengan Bretagne. Namun yang menjadi tujuan utama para wisatawan adalah, pulau kecil dari karang raksasa yang merupakan kota tua dengan gereja dan tempat para pendeta tinggal.
Kemegahan dan keindahan gereja serta bangunan tua yang masih dipertahankan membuat kita serasa memasuki abad pertengahan begitu menginjakan kaki ke dalam kota ini. Dan salah satu yang membuat Le Mont Saint Michel begitu terkenal karena situs ini dikelilingi oleh lautan, dengan pasang surut terbesar di Eropa.
Peletakan batu pertama dimulai pada tahun 709 oleh Uskup Aubert yang mendapatkan wahyu untuk membangun gereja di pulau seluas 208 hektar itu. Pembangunan yang terus berlanjut hingga akhir abad pertengahan. Sempat menjadi penjara di abad ke 19, kemudian di abad yang sama situs ini direnovasi dan pada saat perbaikan itulah ditambahkannya menara di ujung gereja yang menjadi simbol dari Le Mont Saint Michel.
Untuk menuju Gereja Mont Saint Michel, kita harus melewati kota tuanya. Bisa dengan mengikuti jalanan utama atau melalui jalan-jalan kecil seperti gang sempit sebagai alternatif menuju gereja tersebut. Begitu banyaknya gang sempit yang bisa membawa kita hingga gereja, membuat kami akhirnya lebih memilih terlebih dahulu berjalan di jalanan utama. Baru kemudian turun dari gereja akan mencoba jalanan sempit yang menurut cerita banyak menyimpan misteri.
Sepanjang jalan utama kanan kirinya padat dengan butik cendera mata, restoran dan toko yang menjual makanan khas setempat khususnya kue gallette. Gallette dari Mont Saint Michel sangat laris manis sebagai oleh-oleh. Biskuit bulat dari tepung, gula dan mentega ini, memang sangat enak dan renyah dinikmati dengan kopi atau teh hangat. Dan hanya di Le Mont Saint Michel inilah terdapat restoran serta butik dari Mére Poulard, terkenal sebagai pembuat kue gallette nomor satu di Perancis.
Tapi ketika saya lihat harganya, sampai loncat mata saya membaca angka euros! Satu kotak kecil sekitar 15 euros dan beranjak hingga 40 euros. Harga yang mahal bagi kantong saya untuk satu kotak biskuit berisi 10 hingga 24 biji. Tapi memang kebanyakan pengunjung membelinya bukan hanya untuk kuenya tapi karena kotak kuenya yang unik dan cantik. Berbagai dekorasi menarik terlukis bagi si kotak berukuran 20x13 cm ini. Satu kotak biskuit akhirnya saya pilih, meskipun dengan berat hati mengeluarkan uangnya tapi sekarang saya tak menyesal membelinya karena kotak cantik itu saya gunakan sebagai tempat gula.
Setelah sempat tertahan karena lapar mata, akhirnya perjalanan kami lanjutkan. Menuju gereja dan tempat tinggal para pendeta. Kaki dipaksakan menanjak, karena bangunan bersejarah itu berada di atas bukit.
Ketika kami tiba di pintu masuk, wahhh...barisan manusia sudah sangat panjang memasuki gereja. Biasanya setiap kali kunjungan wisata, saya selalu masuk terlebih dahulu dengan memperkenalkan kartu pers saya. Tapi karena antrean begitu panjang saya jadi menunggu bersama suami dan anak.
Untungnya salah satu pintu bertuliskan, khusus rombongan, maka saya mencoba untuk mendatanginya dan menerangkan jika kedatangan saya juga sekaligus untuk meliput. Setelah proses kartu pers dan pengisian formulir selesai, suami serta anak membayar tiket masuk, maka kami memulai kunjungan ke dalam Gereja Mont Saint Michel.
Saran saya, sewalah audio guide. Karena selembaran petunjuk yang diberikan informasinya sangat sedikit. Untung saya bisa mendapatkan brosur khusus wartawan.
Kunjungan ke sini biasanya terbagi menjadi beberapa bagian. Tiga bagian terpenting mejadi pilihan kami. Kunjungan pertama kami yaitu mendatangi gerejanya yang bernama Gereja Abbatiale. Tempat ibadah inilah yang menjadi tujuan keagamaan bagi umat katolik.
Kunjungan kedua yaitu tempat para pendeta tinggal, yang dinamakan Abbaye du Mont Saint Michel. Yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Abbatiale dan La Merveille yang menjadi tempat tinggalnya para pendeta. Dalam Abbaye ini, batu tua yang menjadi dinding kokoh dan tebal membuat diri merasa kecil dan asing. Ketika sampai di taman dan lorong tempat para pendeta, permainan cahaya dari jendela mozaik begitu mempesona.
Kaki saya terhenti ketika memasuki sebuah ruangan gelap dengan genangan air bagaikan sumber mata air yang dikelilingi dengan pilar raksasa. Serasa terkucil diri ini disitulah saya sempat kehilangan suami dan anak saya. Padahal sejak tadi mereka kami selalu bersama.
Terlalu misteri membuat saya mempercepat langkah kaki dan mencoba keluar dari ruangan tersebut berharap menemukan suami dan anak. Rupanya sejak tadi mereka masih berada di sana, tapi menurut mereka tiba-tiba saja saya tak terlihat lagi.
Kami pun segera menuju ruangan berikutnya yaitu Salle des Chevaliers yang juga marak oleh pilar-pilar dan jendela mozaik. Ruangan yang terang ini membuat hati kami yang sempat ciut menjadi segar kembali. Di sinilah bayangan saya beradu dengan gambaran yang sering terlihat dalam film tentang chevaliers (satria berkuda romawi). Tebayang bagaimana mereka dengan pakaian kesatriaannya dan pedang panjangnya.
Puas berhayal, kami melanjutkan mengungkap bangunan bersejarah ini dengan mendatangi bangunan Robert de Torigni, bangunan yang terwujudkan paling akhir tepatnya tahun 1154-1164. Di sinilah kita akan dibuat kagum oleh kincir raksasa antik yang dibangun sebagai pengangkut barang dari luar bangunan misalnya bahan makanan, ketika Mont Saint Michel digunakan sebagai penjara.
Setelah ketiga bangunan kami kunjungan, maka yang tak boleh terlewatkan adalah berjalan kaki sepanjang dinding benteng. Mengelilingi benteng inilah kekaguman kami semakin berlipat, karena bisa melihat Abbaye Mont Saint Michel menjulang begitu megahnya. Zaman kini membangun gedung pencakar langit, bukan hal yang aneh lagi, tapi membayangkan bagaimana monumen bersejarah ini dibangun dengan tangan itulah yang membuat hati begitu terpesona. Apalagi pembangunan situs ini dilakukan karena kepercayaan seseorang kepada Tuhan.
Satu hal yang tak bisa luput dilakukan adalah berjalan kaki sepanjang pantai di sekeliling karang Mont Saint Michel. Pantai hitam pekat yang berkilau bagaikan lumpur dan busa yang menyerap kaki manusia. Kamera saya segera merekam kemilau dari pantauan pasir hitam ini.
Saya merasa tak terlalu nyaman berjalan di atas pasir yang selalu menenggelamkan kedua kaki saya. Memang berjalan di atas pasir tempat air pasang surut merupakan pengalaman unik dan juga berbahaya. Berjalanlah tak jauh dari karang Mont Saint Michel itu pun hanya daerah tertentu. Karena di sini banyak terdapat pasir bergerak yang bisa membuat kita tenggelam karena tertelan pasir. Karena itu disarankan bagi yang ingin berjalan lama, menggunakan guide yang mengenal dengan pasti daerah tersebut.
Suami dan anak saya, keduanya berjalan di atas pasir tanpa bermasalah, bahkan anak-anak lainnya banyak yang memilih melepaskan pakaian untuk berguling-guling di atas pasir. Pasir yang langsung menjadi kering bagaikan lumpur kering membaluri tubuh mereka. Dan mereka pun terlihat begitu asik menikmatinya. Nyali saya kali itu tak terlalu besar, pikiran saya terlalu berkonsentrasi dengan gerakan pasir yang membuat saya takut.
Senja pun tiba...dan air mulai terlihat naik. Segera kami meninggalkan daerah tersebut karena air pasang bisa meluap dengan cepat dan sangat berbahaya.
Kota tua dengan gang sempit menjadi pilihan kami untuk turun dari pulau kecil itu dengan santai. Berbeda saat kami datang yang dipadati dengan butik kini bangunan tua menjadi dekorasi perjalanan kami, sangat menyenangkan diapit diantara tembok penuh sejarah.
Saat kami sedang menikmati jajanan sore hari berupa coklat hangat dan crepe mentega gula di cafe Mère Poulard, Adam anak sulung kami berkata bahwa di kota inilah dirinya merasa begitu terpesona dengan kota tua yang terhampar di matanya dan kemegahan dari bangunan yang telah dikunjunginya.
Adam merasakan seperti hidup di abad pertengahan. Adam mengakui dirinya merasa semakin kaya akan sejarah dan pengalaman. Kami juga merasakan hal yang sama pada saat itu.
0 celoteh:
Posting Komentar