Senin, 15 Oktober 2012

TEKNIK MENGURANGI EMOSI & PIKIRAN NEGATIF


Pemicu marah (sering sekali disebut 'emosi') biasanya berasal dari pikiran, baik itu pikiran negatif yang muncul dari intepretasi input-input atau stimulasi dari lingkungan eksternal maupun pola-pola pemikiran internal yang tidak disadari. Untuk itu ada beberapa metode untuk meredam rasa marah ini.. di antarannya:



Sedona Method 

Teknik ini ditemukan oleh Lester Levenson, dan dipopulerkan oleh muridnya , Hale Dwoskin.
Tehniknya sangat simple, hanya mengajukan tiga pertanyaan pada diri sendiri secara berulang-ulang hingga emosi negatif lepas. Walaupun simple, tapi sangat efektif dan penggunaannya pun sangat luas. Untuk detailnya bisa baca buku Sedona Method yang diterbitkan oleh Ufuk Press.

Pertanyaan yang dimaksud adalah: Bisakah? Maukah? Kapan? 
Caranya dengan membayangkan atau rasakan satu emosi yang ingin anda hilangkan. Misalnya rasa cemas. Kemudian...
1.     Tanyakan pada diri sendiri, "Bisakah saya melepaskan rasa cemas ini? Apapun jawabannya baik ya atau tidak, lanjutkan pada pertanyaan berikut:
2.     "Maukah saya melepaskan rasa cemas ini?
3.     "Kapan?" 
Seandainya anda menjawab tidak pada pertanyaan kedua, maka ajukan pertanyaan tambahan ini:2a. "Apakah saya lebih nyaman menahan perasaan cemas ini atau lebih nyaman jika melepasnya?"Jika jawabannya, "Ya, lebih nyaman melepas dong."
Maka ulangi lagi pertanyaan kedua. "Jadi mau melepas perasaan ini?"Lalu setelah anda setuju, lanjutkan dengan pertanyaan ketiga, "Kapan?"
Inti dari tehnik ini adalah mengizinkan emosi negatif itu datang, lalu memutuskan untuk melepasnya. Dengan kata lain menuntun bawah sadar hingga mau melepas emosi negatif yang mengganggu kita. Tehnik ini sangat cocok terutama untuk orang yang bertipe auditori.

Dalam pengembangannya, tehnik ini juga dapat digunakan untuk membantu proses penyembuhan penyakit, menurunkan berat badan, meningkatkan finansial dan lain-lain.
Terkadang dibutuhkan beberapa kali pengulangan sampai emosi negatif yang ingin kita hilangkan itu benar-benar hilang. Ada cerita seorang teman yang harus bolak-balik berulang kali bertanya pada dirinya sendiri karena tak mau juga melepas emosi negatifnya. Ketika itu dia selalu menjawab tidak dari dua pertanyaan pertama, dan ragu pada pertanyaan ketiga. Kira-kira seperti ini:

"Bisakah saya melepas perasaan ini?""Ga bisa, saya sakit hati banget."
"Maukah saya melepas perasaan ini?""Ga mau, perasaan ini ga mau pergi!"
"Terus lebih nyaman mana, membiarkan perasaan ini terus atau melepasnya pergi?""Ya lebih nyaman melepas pergi dong, tapi susah!"
"Kalau gitu mau melepas perasaan ini?""Iya mau! Tapi susah!"
"Tapi mau kan?""Iya mau!"
"Kapan?""Ngg...ga tahu, secepatnya aja deh."
"Secepatnya itu kapan?""Ya kalo bisa sekarang!"
"Jadi kamu bisa melepasnya?""Iya."
"Kamu mau melepasnya?""Ya."
"Kapan?""Sekarang!"



ACT (Acceptance Commitment Therapy)

 ACT dikembangkan oleh Steven C. Hayes dengan filosofi bahwa pikiran dan perasaan tidak perlu dilawan atau ditindaklanjuti dengan segera, tapi cukup diamati dan diterima. Emosi negatif adalah sesuatu yang wajar untuk didapati dan senormal emosi yang positif.
Rasa marah juga tidak perlu diekspresikan secara agresif tapi boleh dinyatakan dengan asertif. Biasanya seseorang marah karena merasa diperlakukan tidak adil atau harapannya dikecewakan dengan tindakan orang lain. Pelajari dengan seksama, jadilah asertif jangan agresif, dan ambil hikmahnya.
Amarah yang diluapkan akan semakin menjadi-jadi dan pelampiasannya bisa menjadi sesuatu yang akan disesali nantinya. Kita harus bisa mentransformasi amarah menjadi sumber motivasi untuk bertindak dengan lebih baik lagi.
Menurut ACT, pikiran-pikiran yang muncul tidak perlu langsung ditanggapi atau dievaluasi secara berlebihan. Tidak usah juga dihindari atau dipendam. Amarah yang terpendam bisa meledak suatu saat atau malah menjadi penyakit batin maupun fisik yang menggerogoti diri dari dalam.
Jika kita merasa marah atau tersinggung dengan orang lain, kita bisa menyatakan protes keberatan kita dan berharap perbaikan perilaku dari pihak tertentu, tapi kita jangan menyerang pribadi secara membabi-buta. Tegas untuk menolak perlakuan yang membuat kita marah tapi tidak mendendam atau melakukan tindak kekerasan.
ACT berarti menerima reaksi, emosi, dan segala pemikiran dengan tetap berpijak di masa kini (tidak larut dalam ingatan masa lalu atau kekhawatiran di masa depan yang belum terjadi) lalu bertindak dengan mengikuti arahan prinsip-prinsip yang lebih bernilai.
Emosi atau perasaan negatif memang sebaiknya diterima agar bisa datang dan pergi tanpa perlu dilawan. Emosi ada untuk dirasakan karena fungsinya sebagai input informasi dan deteksi situasi. Emosi yang ditindaklanjuti secara cerdas bisa bermanfaat sebagai penguat motivasi serta pencegahan dini kepada hal-hal yang bisa menyakiti.
Misalnya rasa marah jangan ditekan tapi juga jangan diekspresikan sehingga bisa membesar dan membahayakan diri serta orang lain. Amarahnya bisa diobservasi tanpa lupa diri untuk dicari maknanya, ditindaklanjuti dengan bijak, dan lalu memaafkan semuanya.
Amarah hanya perlu dirasakan, disadari, dan direlakan. Berikan maaf secara langsung kalau mampu. Kalau sulit, silahkan tuliskan semua hal yang menjadi sumber amarah, caci maki orang yang dibenci dalam sebuah surat, buat jurnal emosi, lalu bakar dan relakan.


SPIRITUAL 
Tips selanjutnya adalah memanfaatkan iman dan keyakinan serta ajaran-ajaran agama. Kuatkan kepercayaan serta praktekkan ritual-ritual yang mengembangkan emosi positif seperti banyak-banyak bersyukur dan berdoa, bermeditasi atau berdizikir dalam agama Islam, memberi atau bersedekah dan menolong orang lain, berpuasa serta pergi ke tempat ibadah umum seperti masjid, wihara, pura, atau gereja sesuai keyakinan masing-masing.
Jangan terikat dengan pikiran mana pun di masa lalu, masa sekarang, dan yang di masa depan seperti penyesalan, amarah, dan kecemasan. Kuatkan kontak dengan kekinian, bernafas dalam-dalam dengan perlahan dan rasakan setiap sensasi diri dengan keterbukaan serta penerimaan. Menerima dan merasakan apapun yang ada saat ini.
Bersabar dan sadari inti diri melebihi batasan fisik, akses ruh dalam tubuh yang merupakan sumber kerohanian kita.
Kita bisa membebaskan diri dari keterikatan itu. Bahasa spiritualnya, melepaskan segala harapan atau keinginan untuk mengendalikan hal-hal yang diluar kendali kita dengan ikhlas dan pasrah.
Langkah selanjutnya adalah menemukan nilai-nilai yang paling berarti dalam hidup kita dan bertindak dengan prinsip-prinsip sejati tersebut. Kita berkomitmen untuk berperilaku sesuai prinsip berdasarkan nilai yang abadi, bukan bertindak karena perasaan yang bersifat sementara. Misalnya dengan tetap berpegang teguh pada kejujuran, integritas, siap bertanggung jawab, adil, dan seterusnya.
Sebagai contoh, amarah hanya perlu dirasakan tapi tindakan kita tetap harus berdasarkan prinsip dan nilai yang menjadi komitmen kita. Pegangan atau tuntunan perilaku kita berasal dari prinsip dan nilai, bukan emosi sesaat sehingga kita tidak akan sesat. Inilah komitmen yang harus kita jaga selamanya.


sumber:


0 celoteh:

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo