Pemicu marah (sering sekali disebut 'emosi') biasanya
berasal dari pikiran, baik itu pikiran negatif yang muncul dari intepretasi
input-input atau stimulasi dari lingkungan eksternal maupun pola-pola pemikiran
internal yang tidak disadari. Untuk itu ada beberapa metode untuk meredam rasa
marah ini.. di antarannya:
Sedona Method
Teknik ini ditemukan oleh Lester Levenson, dan dipopulerkan
oleh muridnya , Hale Dwoskin.
Tehniknya sangat simple, hanya mengajukan tiga pertanyaan
pada diri sendiri secara berulang-ulang hingga emosi negatif lepas. Walaupun
simple, tapi sangat efektif dan penggunaannya pun sangat luas. Untuk detailnya
bisa baca buku Sedona Method yang diterbitkan oleh Ufuk Press.
Pertanyaan yang dimaksud adalah: Bisakah? Maukah?
Kapan?
Caranya dengan membayangkan atau rasakan satu emosi yang ingin anda hilangkan.
Misalnya rasa cemas. Kemudian...
1. Tanyakan pada diri sendiri,
"Bisakah saya melepaskan rasa cemas ini? Apapun jawabannya baik ya
atau tidak, lanjutkan pada pertanyaan berikut:
2. "Maukah saya melepaskan
rasa cemas ini?
3. "Kapan?"
Seandainya anda menjawab tidak pada pertanyaan kedua, maka
ajukan pertanyaan tambahan ini:2a. "Apakah saya lebih nyaman menahan
perasaan cemas ini atau lebih nyaman jika melepasnya?"Jika jawabannya,
"Ya, lebih nyaman melepas dong."
Maka ulangi lagi pertanyaan kedua. "Jadi mau melepas
perasaan ini?"Lalu setelah anda setuju, lanjutkan dengan pertanyaan
ketiga, "Kapan?"
Inti dari tehnik ini adalah mengizinkan emosi negatif itu
datang, lalu memutuskan untuk melepasnya. Dengan kata lain menuntun bawah sadar
hingga mau melepas emosi negatif yang mengganggu kita. Tehnik ini sangat cocok
terutama untuk orang yang bertipe auditori.
Dalam pengembangannya, tehnik ini juga dapat digunakan untuk
membantu proses penyembuhan penyakit, menurunkan berat badan, meningkatkan
finansial dan lain-lain.
Terkadang dibutuhkan beberapa kali pengulangan sampai emosi
negatif yang ingin kita hilangkan itu benar-benar hilang. Ada cerita seorang
teman yang harus bolak-balik berulang kali bertanya pada dirinya sendiri karena
tak mau juga melepas emosi negatifnya. Ketika itu dia selalu menjawab tidak
dari dua pertanyaan pertama, dan ragu pada pertanyaan ketiga. Kira-kira seperti
ini:
"Bisakah saya melepas perasaan ini?""Ga bisa,
saya sakit hati banget."
"Maukah saya melepas perasaan ini?""Ga mau,
perasaan ini ga mau pergi!"
"Terus lebih nyaman mana, membiarkan perasaan ini terus
atau melepasnya pergi?""Ya lebih nyaman melepas pergi dong, tapi
susah!"
"Kalau gitu mau melepas perasaan ini?""Iya
mau! Tapi susah!"
"Tapi mau kan?""Iya mau!"
"Kapan?""Ngg...ga tahu, secepatnya aja
deh."
"Secepatnya itu kapan?""Ya kalo bisa
sekarang!"
"Jadi kamu bisa melepasnya?""Iya."
"Kamu mau melepasnya?""Ya."
"Kapan?""Sekarang!"
ACT (Acceptance Commitment Therapy)
ACT dikembangkan oleh Steven C. Hayes dengan filosofi
bahwa pikiran dan perasaan tidak perlu dilawan atau ditindaklanjuti dengan
segera, tapi cukup diamati dan diterima. Emosi negatif adalah sesuatu yang
wajar untuk didapati dan senormal emosi yang positif.
Rasa marah juga tidak perlu diekspresikan secara agresif
tapi boleh dinyatakan dengan asertif. Biasanya seseorang marah karena merasa
diperlakukan tidak adil atau harapannya dikecewakan dengan tindakan orang lain.
Pelajari dengan seksama, jadilah asertif jangan agresif, dan ambil hikmahnya.
Amarah yang diluapkan akan semakin menjadi-jadi dan
pelampiasannya bisa menjadi sesuatu yang akan disesali nantinya. Kita harus
bisa mentransformasi amarah menjadi sumber motivasi untuk bertindak dengan
lebih baik lagi.
Menurut ACT, pikiran-pikiran yang muncul tidak perlu
langsung ditanggapi atau dievaluasi secara berlebihan. Tidak usah juga
dihindari atau dipendam. Amarah yang terpendam bisa meledak suatu saat atau
malah menjadi penyakit batin maupun fisik yang menggerogoti diri dari dalam.
Jika kita merasa marah atau tersinggung dengan orang lain,
kita bisa menyatakan protes keberatan kita dan berharap perbaikan perilaku dari
pihak tertentu, tapi kita jangan menyerang pribadi secara membabi-buta. Tegas
untuk menolak perlakuan yang membuat kita marah tapi tidak mendendam atau
melakukan tindak kekerasan.
ACT berarti menerima reaksi, emosi, dan segala pemikiran
dengan tetap berpijak di masa kini (tidak larut dalam ingatan masa lalu atau
kekhawatiran di masa depan yang belum terjadi) lalu bertindak dengan mengikuti
arahan prinsip-prinsip yang lebih bernilai.
Emosi atau perasaan negatif memang sebaiknya diterima agar
bisa datang dan pergi tanpa perlu dilawan. Emosi ada untuk dirasakan karena
fungsinya sebagai input informasi dan deteksi situasi. Emosi yang
ditindaklanjuti secara cerdas bisa bermanfaat sebagai penguat motivasi serta
pencegahan dini kepada hal-hal yang bisa menyakiti.
Misalnya rasa marah jangan ditekan tapi juga jangan
diekspresikan sehingga bisa membesar dan membahayakan diri serta orang lain.
Amarahnya bisa diobservasi tanpa lupa diri untuk dicari maknanya,
ditindaklanjuti dengan bijak, dan lalu memaafkan semuanya.
Amarah hanya perlu dirasakan, disadari, dan direlakan.
Berikan maaf secara langsung kalau mampu. Kalau sulit, silahkan tuliskan semua
hal yang menjadi sumber amarah, caci maki orang yang dibenci dalam sebuah
surat, buat jurnal emosi, lalu bakar dan relakan.
SPIRITUAL
Tips selanjutnya adalah memanfaatkan iman dan keyakinan
serta ajaran-ajaran agama. Kuatkan kepercayaan serta praktekkan ritual-ritual
yang mengembangkan emosi positif seperti banyak-banyak bersyukur dan berdoa,
bermeditasi atau berdizikir dalam agama Islam, memberi atau bersedekah dan
menolong orang lain, berpuasa serta pergi ke tempat ibadah umum seperti masjid,
wihara, pura, atau gereja sesuai keyakinan masing-masing.
Jangan terikat dengan pikiran mana pun di masa lalu, masa
sekarang, dan yang di masa depan seperti penyesalan, amarah, dan
kecemasan. Kuatkan kontak dengan kekinian, bernafas dalam-dalam dengan
perlahan dan rasakan setiap sensasi diri dengan keterbukaan serta penerimaan.
Menerima dan merasakan apapun yang ada saat ini.
Bersabar dan sadari inti diri melebihi batasan fisik, akses
ruh dalam tubuh yang merupakan sumber kerohanian kita.
Kita bisa membebaskan diri dari keterikatan itu. Bahasa
spiritualnya, melepaskan segala harapan atau keinginan untuk mengendalikan
hal-hal yang diluar kendali kita dengan ikhlas dan pasrah.
Langkah selanjutnya adalah menemukan nilai-nilai yang paling
berarti dalam hidup kita dan bertindak dengan prinsip-prinsip sejati tersebut.
Kita berkomitmen untuk berperilaku sesuai prinsip berdasarkan nilai yang abadi,
bukan bertindak karena perasaan yang bersifat sementara. Misalnya dengan tetap
berpegang teguh pada kejujuran, integritas, siap bertanggung jawab, adil, dan
seterusnya.
Sebagai contoh, amarah hanya perlu dirasakan tapi tindakan
kita tetap harus berdasarkan prinsip dan nilai yang menjadi komitmen kita.
Pegangan atau tuntunan perilaku kita berasal dari prinsip dan nilai, bukan
emosi sesaat sehingga kita tidak akan sesat. Inilah komitmen yang harus kita
jaga selamanya.
sumber:
0 celoteh:
Posting Komentar